Beranda » , , » Netty Heryawan: Perempuan Harus Berperan Aktif dalam Politik

Netty Heryawan: Perempuan Harus Berperan Aktif dalam Politik

Rabu, 30 Januari 2013 | 19.33

Netty Heryawan bersama politisi Tjetje Padmadinata dalam suatu  Diskus  Politik di Bandung

(SEPUTARJABAR.COM, BANDUNG) Netty Prasetiyani Heryawan sepakat bahwa perempuan harus berperan aktif dalam politik. Setiap kebijakan politik yang menyangkut perempuan, harus diputuskan oleh perempuan juga. Alasannya, banyak hal yang menyangkut perempuan hanya dipahami oleh sesama perempuan.

“Soekarno sendiri sudah menyadari bahwa perempuan adalah subjek politik. Politik perlu peran dan keterlibatan perempuan, agar bisa ikut bersikap dan menentukan akses dan kontrol terhadap keputusan politik itu sendiri,” jelas istri Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan ini dalam acara Diskusi Publik Kecerdasan Berpolitik Perempuan, di Graha Kompas (30/1).

Untuk terjun dalam ranah politik, perempuan membutuhkan supporting system. Menurut Netty, keluarga harus legowo jika ibu, istri, atau anak perempuannya dibutuhkan di luar rumah. Untuk itu, perlu komunikasi dialogis agar semua pihak paham.

Tentunya, perempuan tidak bisa terjun ke politik tanpa persiapan matang. Selain dukungan keluarga, menurut Netty, perempuan harus membekali  diri dengan peningkatan kapasitas diri, pendidikan politik dan sipil, serta melakukan perluasan jaringan.

Dalam masyarakat Indonesia, ada stigma dunia politik itu kejam, kotor, dan penuh intrik. Bahkan, dalam benak perempuan sendiri masih ada persepsi bahwa politik bukan dunia perempuan. Padahal di negara-negara Skandinavia, sudah banyak perempuan yang duduk di parlemen, tanpa harus dipolakan 30 persen seperti di Indonesia.

“Perempuan itu harus cerdas berpolitik, lembut berbudaya, juga luas dalam bergaul (jejaring). (Jika hal itu dilakukan) Insya Allah Indonesia akan dikuasai kaum perempuan,” tambah Tokoh Sunda Tjetje Hidayat Padmadinata.

Adanya stigma ‘politik itu kotor’ di masyarakat, tidak lepas dari faktor budaya yang menggambarkan posisi perempuan di bawah laki-laki. Di samping itu, faktor didikan keluarga juga memengaruhi minimnya keterlibatan perempuan dalam politik.

“Banyak orangtua menolak saat anak (perempuan)-nya ‘masuk’ ke ranah politik. Perempuan feminin, dan laki-laki maskulin, karena pengaruh orangtua. Anak perempuan dikasih rok, laki-laki dikasih pistol-pistolan. Harusnya mesti dicoba, bagaimana jika dididik sebaliknya?” tanya Bucky Wikagoe, budayawan dan peneliti kajian wanita dari Unpad.

Menurut Bucky, seharusnya orangtua memberi peluang yang sama saat anak perempuannya memilih dunia politik. “Perempuan harus mengeksplor diri sehingga dia bisa meningkatkan knowledge di ranah politik. Juga, harus disertai dengan komitmen yang kuat. Itulah kunci dia memiliki achievement (pencapaian) di ranah politik,” tambah Bucky.

Pentingnya dukungan keluarga juga diakui Bucky. Menurut Bucky ketika perempuan ingin ‘masuk’ ke ranah politik, tidak perlu ada dikotomi.“Perempuan yang terjun ke politik bisa diurut dari orangtuanya. Biasanya orangtuanya aktivis politik. Atau jika bukan orangtua, dia punya role model seorang politisi. Misalnya teman, guru, atau suaminya,” papar Bucky. (red)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.