Semangat Kurban
Sabtu, 27 Oktober 2012 | 08.11
UMAT Islam kembali merayakan Idul Adha. Momen ritual yang rutin berlangsung setiap tahun itu, untuk tahun ini memiliki makna sendiri untuk Indonesia, karena berlangsung dalam suasana negeri yang justru kontradiksi dengan semangat Idul Adha yang antara lain menuntut keihklasan melakukan pengorbanan.
Dalam satu dasar lebih lebih perjalanan mewujudkan reformasi, semangat pengorbanan itu seakan telah pupus berganti ketamakan berebut posisi kekuasaan. Yang kentara di depan kita hanyalah adu taktik di antara elite, baik untuk mempertahankan kekuasaan maupun yang gigih memperjuangkan kekuasaan. Nyaris tak terlihat adanya semangat berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara, kecuali pernyataan-pernyataan yang umumnya sekadar lip service politis yang pada hakikatnya mengelabui rakyat.
Kita berharap, semangat Iedul Adha masih mampu menyadarkan pada petinggi negeri yang sedang dilanda krisis multidimensi ini. Oleh karena itu, pemaknaannya tentu tak cukup hanya disimbolisasi oleh 'lomba' penyerahan hewan kurban yang kerap hanya tampak sekadar seremoni saja.
Salah satu kesadaran yang kita harapkan muncul dari para elite yang selama ini terus bertikai, adalah ketulusan untuk bersama-sama kembali menyambungkan tali ukhuwah yang kini makin terkoyak. Dengan demikian masih tersisa harapan adanya keinginan bersama para pemimpin negeri untuk mulai menata berbagai sektor kehidupan demi kemajuan bangsa, yang selama ini terabaikan.
Harapan itu memang selayaknya kita tuntut. Sebab sebagai pemimpin negeri, para elite juga menjadi 'imam' bagi kelompok-kelompok yang mendukungnya. Dan bila yang dikedepankan masing-masing kelompok hanya semangat permusuhan --yang lebih sering karena perebutan kekuasaan -- maka semangat itu pula yang selanjutnya bakal menular ke lapisan masyarakat di bawahnya.
Kalau semangat ingin sama-sama menang yang terus menjadi bagian ulah dan polah para elite, maka tak perlu heran bila kemudian anarkisme terus menjadi bagian keseharian kehidupan bangsa ini. Sebab hal itu juga sebagai cermin terjadinya proses peniruan, selain telah lunturnya kepercayaan kepada para pemimpin yang di mata rakyat sudah tak memiliki wibawa lagi.
Secara serampangan kita bisa menyebut berbagai kasus tawuran atau bentrojk antar warga, sebagai contoh, dengan menyimpulkannya sebagai pertikaian etnis atau perseteruan kelompok . Namun kita juga bisa menyangsikan kesimpulan tersebut manakala melihat kenyataan bahwa ratusan etnis lainnya di berbagai daerah adem-adem saja hidup berdampingan secara harmonis dalam keseharian.
Justru bila penyimpulan yang cenderung hanya mengandalkan peristiwa temporer sebagai pertimbangannya, sama saja dengan meniup-niup api dalam sekam yang sesungguh tak menyimpan bahaya bila tidak dikipas-kipas. Sebaliknya bila menyadari bahwa kejadian-kejadian unjuk kekerasan itu sekadar ekses dari kehilangan kepercayaan kepada pemimpin yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak yang menghendaki berlangsungnya instabilitas kehidupan sosial, maka sudah saatnya para pemimpin mulai bersikap dan bertindak yang memungkinkan memulihkan kepercayaan rakyat.
Berkaitan dengan momentum Iedul Adha, upaya pemulihan kepercayaan rakyat itu antara lain bisa dilakukan dengan mulai mewujudkan gerakan persaudaraan di antara semua elemen bangsa, diawali dengan tindakan konkret para pemimpin. Realisasinya tentu bukan bentuk-bentuk pertemuan yang justru semakin memperuncing pertentangan karena munculnya berbagai kecurigaan. Apalagi cuma jargon-jargon rekonsiliasi yang hanya berujung pada pembagian kekuasaan seraya mengabaikan kepentingan masyarakat luas..
Zamsaja
Bandung, 25 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar