(SJ) - Kebijakan ambang batas (parliamentary threshold) secara nasional sebesar 3,5 persen yang diberlakukan dalam pemilihan legislatif seperti tertera dalam pasal 208 Undang-undang nomor 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD dinilai sebagai kejahatan politik. Ini disebabkan keberadaan ambang batas nasional telah melanggar asas pemilu yang jujur dan adil.
"Kebijakan ambang batas nasional merupakan kejahatan politik yang dilegalkan, karena kebijakan ini menghilangkan keaslian suara pemilih, atau setidaknya merusak keaslian suara pemilih," ujar ahli dari Perludem, Didik Supriyanto saat membacakan keterangan dalam sidang pleno di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (6/8).
Selain itu, kata Didik, meskipun telah ada putusan MK yang membenarkan adanya kebijakan ambang batas, namun hal itu telah disalahgunakan oleh pembuat undang-undang. Menurutnya, hal itu telah melanggar asas pemilu serta kebebasan pemilih menentukan pilihan.
"Putusan MK telah disalahgunakan oleh pembuat undang-undang untuk membuat kebijakan ambang batas nasional, sehingga mengabaikan bahkan melanggar Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1),"
Didik menambahkan, ambang batas yang diberlakukan secara nasional telah mengabaikan hak pemilih untuk menentukan pilihan. Pasalnya, pilihan pemilih telah dibatasi dengan hanya memilih anggota DPR saja.
"Kebijakan ambang batas nasional telah mengabaikan kenyataan bahwa pemilih memberikan surat suara untuk DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dengan surat suara yang berbeda-beda. Apabila kebijakan ambang batas diterapkan, maka kebijakan ini harus berlaku pada masing-masing jenis lembaga perwakilan yang dipilih," kata Didik. (mdo)
0 komentar:
Posting Komentar